Friday 19 June 2009

Berobatlah...


Tema ini masih berkaitan dengan pembahasan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang lalu mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Salah satu sifat mereka adalah bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Barangkali sebagian muslimin beranggapan bahwa berobat dapat mengikis kesempurnaan tauhid. Alasannya bahwa berobat merupakan penggunaan sebuah sebab yang berlawanan dengan tawakkal kepada Allah. Sehingga seorang yang bertawakkal tidak butuh untuk berobat bila sakit. Jika Allah menginginkan kesembuhannya maka dia akan sembuh tanpa perlu berobat. Benarkah menjalani sebuah sebab berlawanan dengan tawakkal kepada Allah? Marilah kita simak tulisan berikut ini.

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah mengutarakan masalah berobat, sebagaimana dalam beberapa hadits. Di antaranya,

1. Dari Jabir Bin Abdullah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat tepat dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu’anhu, bahwa beliau berkata,

“Aku pernah di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lalu datanglah serombongan orang arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat? .” Beliau menjawab, “Iya, wahai para hamba Allah berobatlah. Sebab Allah ‘azza wa jalla tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “ Penyakit apa itu? .” Beliau menjawab, “Penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad, Al Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Juga Al-Bushiri menshahihkannya dalam kitab Zawaidnya. Lihat Takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad 4/12-13)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam hadits-hadits yang shahih ini terdapat perintah untuk berobat dan itu tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak penyakit yang berupa rasa lapar, haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya, tidak menghilangkan tawakkal. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani sebab yang Allah letakkan sebagai faktor yang akan melahirkan akibat, baik secara ketentuan takdir maupun hukum syariat. Menolak sebab dapat merusak tawakkal itu sendiri. Demikian pula dapat merusak dan melemahkan nilai perintah Allah dan hikmah-Nya. Sementara orang-orang yang menolak sebab beranggapan bahwa yang demikian itu akan lebih menguatkan tawakkal. Padahal menolak sebab merupakan sebuah kelemahan yang bisa menghilangkan tawakkal. Karena hakikat tawakkal adalah seorang menyandarkan hatinya kepada Allah dalam meraih kemanfaatan dan menolak bahaya, baik pada agama maupun dunianya. Penyandaraan hati ini harus disertai dengan menjalani sebab. Jika tidak, maka dia akan menggugurkan hikmah Allah dan syari’at-Nya. Oleh karena itu, jangan seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai sikap bertawakkal dan jangan pula dia menjadikan tawakkalnya sebagai sebuah kelemahan.” (Lihat Zadul Ma’ad, cet. Maktabah Ar-Risalah 4/14)

Berobat merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang datang pada bab ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.

Pertama, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan tetapi yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullah.

Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi’i rahimahumullah. Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas salaf dan kholaf. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau berkata, “Menurut madzhab Abu Hanifah bahwa berobat adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”

Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja, tak ada yang lebih utama. Ini merupakan Madzhab Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa demikian pula meninggalkannya.” (lihat Fathul Majid halaman 88-89)

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan maka hukumnya wajib.

2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti maka melakukannya lebih utama.

3. Bila dengan berobat diperkirakan kesembuhan dan kebinasaannya memiliki kadar kemungkinan yang sama maka meninggalkannya lebih utama, agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa sadar.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’ 2/437)

Salah satu sifat orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah bertawakkal kepada Allah semata. Sifat ini bukan berarti mereka tidak menjalani sebab sama sekali. Karena secara global menjalani sebab merupakan perkara fitrah dan tertanam secara spontan. Tak seorang pun bisa terlepas dari menjalani sebab. Bahkan bertawakkal itu sendiri merupakan sebab yang paling terbesar, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)

Dengan demikian mereka hanya meninggalkan perkara yang makruh walaupun mereka membutuhkannya, dengan tetap bertawakkal kepada Allah, seperti meminta diruqyah atau dikay. Mereka meninggalkan perbuatan ini karena keberadaannya sebagai sebab yang makruh. Terlebih lagi orang yang sakit, dia akan bergantung dengan apa saja yang dianggapnya sebagai sebab untuk kesembuhannya meskipun dengan rumah laba-laba (yang sangat lemah).

Adapun menjalani sebab dan berobat dalam bentuk yang tidak mengandung hukum makruh maka tidak merusak tawakkal. Oleh karena itu meninggalkannya tidak disyariatkan, sebagaimana yang terpahami dari hadits-hadits yang telah kita cantumkan di atas. (Lihat Fathul Majid 87-88).

Menjalani sebab bisa menjadi perbuatan syirik dan bisa pula merupakan perwujudan ibadah dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadi syirik bila orang yang menjalaninya menyandarkan hati kepadanya, merasa tenang dengannya, dan meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat melahirkan akibat tanpa Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berpaling dari Dzat Yang Menciptakan Sebab dan menjadikan perhatiannya hanya terbatas pada sebab itu.

Sedangkan menjadi tauhid dan ibadah bila dia menganggapnya hanya sebagai bentuk penunaian, pelaksanaan dan penegakan hak peribadahan yang terdapat padanya. Lalu menempatkannya pada tempat yang sesuai. Maka menjalani sebab dengan cara yang seperti ini merupakan peribadahan dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena hal itu tidak memalingkannya dari menghadapkan hati kepada Dzat Pencipta Sebab.

Seorang yang bertauhid dan bertawakkal kepada Allah tetap menjalani sebab tetapi tidak menyandarkan hati, tenang, berharap, takut dan condong kepadanya. Hatinya hanya tertuju dan tergantung kepada Zat Pencipta Sebab subhanahu wa ta’ala. Namun bukan berarti dia menolak, menggugurkan dan mengabaikan untuk menjalani sebab.

Tawakkal tidak benar, baik secara hukum syariat maupun logika kecuali bila digantungkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Tak ada di alam nyata ini sebab yang sempurna dan dapat melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Kehendak Allah merupakan sebab bagi segala sebab. Allah telah menjadikan padanya kekuatan yang selalu menuntut akibat. Tak ada satu sebab pun yang bisa melahirkan akibat dengan sendirinya melainkan harus disertai oleh sebab yang lain. Allah menjadikan bagi setiap sebab lawan-lawan dan perkara-perkara yang dapat menghalanginya. Hal ini tentunya berbeda dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Kehendak-Nya tidak membutuhkan sebab apapun selainnya. Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya. Dia menghendaki sebuah perkara lalu menghendaki lawannya dan perkara yang mencegah terjadinya. Seluruhnya dengan kehendak dan pilihan Allah. Oleh karena itu tawakkal tidak dibenarkan kecuali hanya kepada-Nya. Demikian pula penyandaran diri, rasa takut, harapan, keinginan tidak ditujukan kecuali kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaanmu dari siksa-Mu. Dan dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

“Tak ada tempat selamat dan berlindung dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)

Apabila kita mengumpulkan antara bertauhid dan menjalani sebab maka hati kita akan lurus dalam menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, tampaklah jalan besar yang dilalui oleh seluruh rasul, nabi dan pengikut mereka. Itulah jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Semoga Allah selalu membimbing kita. (Lihat Madarijus Salikin, cet Dar Ihyaut Turots Al-Arabi, 3/368-369)

Wallahu a’lam bishshawab.

(Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta; http://ahlussunnah-bangka.com/2009/05/01/berobat-tidak-mengikis-kesempurnaan-tauhid/)

Sumber :
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-man

Thursday 18 June 2009

BERSABARLAH WAHAI SAUDARAKU

Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan



Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.
Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya." (HR. Muslim)

Kriteria Orang yang Paling Mulia
Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta'ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.
Allah berfirman:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS.Al-Hujurat: 13)

Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya." (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)
Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta'ala berfirman:
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS.Al-Hadiid: 22-24)
Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat." (HR. Al-Hakim)
Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid'ah).
Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah Orang yang Mampu Membantu
Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS.Al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya." (HR. Muslim)

Berdo'a ketika Sedih
Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do'a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo'a: "Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku." kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan." Tiba-tiba ada yang bertanya: "Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do'a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: "Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain)." (HR. Ahmad)
Juga do'a berikut ini:
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain." (HR. Bukhariy)

Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezatan
Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.
Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: "Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru)." (Adabud Dunya wad Diin)
Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.

Contoh Orang-orang yang Sabar
Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.
Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya'qub:
"Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa." Ya`qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya." (QS.Yusuf: 84-86)
Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
"Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan." Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." (QS.Maryam: 22-25)
Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari'at-Nya, amin. Wallaahu A'lam.

(Sumber: Buletin Al Wala' wa Bara', Edisi ke-4 Tahun ke-3/17 Desember 2004 M/05 Dzul Qo'dah 1425 H. Judul asli ‘Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku’ Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung)